Berpegang Kepada Jamaah Kaum Muslimin dan Pemimpinnya - MERODJA

Update

Monday, July 02, 2012

Berpegang Kepada Jamaah Kaum Muslimin dan Pemimpinnya

Berpegang Kepada Jamaah Kaum Muslimin dan Pemimpinnya

 
Hudzaifah radhiallahu ‘anhu berkata,
كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنْ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا فِي جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ فَجَاءَنَا اللَّهُ بِهَذَا الْخَيْرِ فَهَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ وَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الشَّرِّ مِنْ خَيْرٍ قَالَ نَعَمْ وَفِيهِ دَخَنٌ قُلْتُ وَمَا دَخَنُهُ قَالَ قَوْمٌ يَهْدُونَ بِغَيْرِ هَدْيِي تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ قُلْتُ فَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ قَالَ نَعَمْ دُعَاةٌ إِلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا فَقَالَ هُمْ مِنْ جِلْدَتِنَا وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا قُلْتُ فَمَا تَأْمُرُنِي إِنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَ قَالَ تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ قُلْتُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ قَالَ فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ
“Orang-orang bertanya kepada Rasulullah shallallah ‘alaihi wasallam tentang kebaikan sedangkan aku bertanya kepadanya tentang keburukan, karena khawatir akan menimpaku. Aku berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya dahulu kami berada dalam jahiliyah dan keburukan, maka Allah memberikan kepada kami kebaikan ini, apakah setelah kebaikan ini akan ada keburukan?
Beliau menjawab, “Iya, ada.”
Aku berkata, “Apakah setelah keburukan itu akan ada lagi kebaikan ?”
Beliau menjawab, “Ada, namun padanya ada kotoran.”
Aku berkata, “Apa kotorannya?”
Beliau menjawab, “Yaitu suatu kaum mengambil petunjuk selain petunjukku, engkau kenali diantara mereka dan engkau mengingkarinya.
Aku berkata, “Apakah setelah kebaikan itu akan ada lagi keburukan ?”
Beliau menjawab, “Iya, yaitu akan ada para penyeru kepada pintu-pintu Jahannam, siapa yang mengikutinya akan dilemparkan ke dalamnya.
Aku berkata, “Wahai Rasulullah, sifatkan mereka kepada kami?”
Beliau menjawab, “Mereka dari kulit kita dan berbicara dengan bahasa kita (umat Islam pen.).
Aku berkata, “Apakah yang engkau perintahkan kepadaku jika aku mendapati masa tersebut ?”
Beliau menjawab, “Berpeganglah kepada jamaah kaum muslimin dan imam mereka.”
Aku berkata, “Bila tidak ada jamaah dan imam?”
Beliau menjawab, “Tinggalkan semua firqah walaupun engkau harus menggigit akar pohon lalu kematian mendatangimu dalam keadaan engkau menggigitnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).[1]

Dan dalam riwayat Muslim[2], Nabi shallallah ‘alaihi wasallam bersabda,
يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ
Akan ada setelahku para pemimpin yang mengambil petunjuk selain petunjukku dan mengambil sunah selain sunahku, dan akan ada pada mereka orang-orang yang hatinya hati setan dalam tubuh manusia.”
Hudzaifah berkata, “Apa yang harus saya lakukan wahai Rasulullah jika aku mendapati masa itu?”
Beliau menjawab, “Dengar dan taat (dalam kebaikan) kepada pemimpin walaupun punggungmu dipukul dan hartamu diambil tetaplah engkau mendengar dan taat.
Tentunya yang dimaksud oleh hadis ini bukanlah jamaah-jamaah yang ada sekarang yang masing-masing membaiat imamnya, karena semua itu adalah firqah-firqah yang memecah belah kaum muslimin. Namun yang dimaksud adalah pemimpin kaum muslimin yang diakui oleh semua kaum muslimin sebagai imam, bukan diakui oleh sebagian kelompok tanpa kelompok lainnya, Abu Bakar Al Khallal berkata, “Telah mengabarkan kepadaku Muhammad bin Abi Harun bahwa Ishaq bin Ibrahim bin Hani menceritakan bahwa Abu Abdillah (Imam Ahmad bin Hanbal) ditanya tentang hadis Nabi shallallah ‘alaihi wasallam:
مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ لَهُ إِمَامٌ ، مَاتَ مِيتَةَ جَاهِلِيَّةٍ.
Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak mempunyai (membai’at) imam, maka ia mati bangkai jahiliyah.[3]
Abu Abdillah berkata, “Tahukah engkau apakah imam itu? Imam adalah yang disepakati oleh seluruh kaum muslimin. Semuanya mengatakan bahwa ia adalah imam, inilah maknanya.”[4]



Muncullah Fitnah
Fitnah muncul ketika kaum muslimin tidak mau berpegang kepada pemimpin kaum muslimin dengan alasan tidak berhukum dengan hukum Allah, padahal Nabi shallallah ‘alaihi wasallam telah mengabarkan akan datangnya pemimpin-pemimpin yang mengambil petunjuk selain petunjuk Rasulullah dan mengambil sunah selain sunah Nabi-Nya. Ini artinya mereka berhukum dengan hukum selain Allah, karena apabila ia mengambil petunjuk selain petunjuk Nabi tentu yang ia ambil adalah petunjuk buatan manusia dan sunah buatan manusia, namun Nabi shallallah ‘alaihi wasallam tidak menghukuminya kafir secara mutlak, dan tidak boleh seseorang berkata: “Mereka mengambil selain petunjuk Nabi shallallah ‘alaihi wasallam dalam beberapa kejadian saja, adapun jika mereka melakukannya dalam kejadian yang banyak seperti di zaman kita ini maka hadis itu tidak boleh dijadikan alasan”.
Pemahaman seperti ini adalah pemahaman yang bertentangan dengan lafadz hadis tersebut, karena hadis ini bersifat mutlak dan tidak membatasi pada satu atau dua kejadian saja. Membatasi suatu dalil dengan ikatan tertentu harus berdasarkan dalil yang shahih sebagaimana disebutkan dalam ilmu ushul fiqih dan tidak ada dalil yang membatasi hadis di atas. Dan juga orang yang menyatakan bahwa yang tidak dikafirkan itu bila ia berhukum dengan hukum selain hukum Allah dalam beberapa kejadian saja adalah pernyataan yang aneh. Sebab bila hakim itu berhukum dengan selain hukum Allah disertai keyakinan bahwa hukum Allah dalam masalah itu sudah tidak relevan dengan zaman, tentu ia menjadi kafir walaupun dalam satu kejadian. Berbeda bila mereka berhukum dengan selain hukum Allah karena mengikuti hawa nafsu dan disertai keyakinan wajibnya berhukum dengan hukum Allah dan bahwa mereka telah berbuat maksiat, maka hakim seperti ini tidak dikafirkan dengan ijma’ (kesepakatan) para ulama kaum muslimin dan ia menjadi fasiq yang tetap wajib ditaati dalam kebaikan.
Pemimpin Berhati Setan
Bahkan Nabi shallallah ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa akan ada pemimpin yang hatinya bagaikan hati setan dalam tubuh manusia. Namun Nabi shallallah ‘alaihi wasallam tetap memerintahkan kita untuk sabar dan senantiasa mendengar dan taat dalam perkara yang ma’ruf dan tidak boleh taat dalam berbuat maksiat kepada Allah Ta’ala. Kita tidak tidak boleh memberontak kepada mereka, Nabi shallallah ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّهُ يُسْتَعْمَلُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ كَرِهَ فَقَدْ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ فَقَدْ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا
Sesungguhnya akan diangkat untuk kamu pemimpin dan kamu akan mengenalnya dan mengingkarinya. Barangsiapa yang membenci, maka ia telah berlepas diri dan barangsiapa yang mengingkari ia akan selamat, akan tetapi yang binasa adalah orang yang ridha dan mengikuti.” Para sahabat bertanya, “Apakah boleh kami memerangi mereka?” Beliau bersabda, “Tidak boleh, selama mereka shalat.” (HR Muslim)[5]
Dalam riwayat lain Nabi shallallah ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلَا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
Tidak boleh selama mereka mendirikan shalat pada kalian, dan apabila kamu melihat sesuatu yang kamu benci dari pemimpin kamu maka bencilah amalannya itu dan jangan mencabut dirimu dari ketaatan.” (HR. Muslim)[6]
Imam ibnu Abil ‘Izz rahimahullah berkata, “Ulil amri terkadang memerintahkan kepada selain ketaatan kepada Allah, maka tidak boleh ditaati kecuali apabila sesuai dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan tetap mentaati mereka walaupun berbuat lalim. Hal itu karena memberontak kepada mereka mafsadahnya lebih besar dari kelaliman mereka, bahkan sabar terhadap kelaliman mereka dapat menghapus dosa dan melipat gandakan pahala. Karena Allah Ta’ala menguasakan mereka atas kita akibat keburukan perbuatan kita, dan balasan itu biasanya sesuai dengan jenis amalan. Kewajiban kita adalah bersungguh-sungguh memohon ampunan kepada Allah, bertaubat dan memperbaiki amalan.”[7]
Pemimpin Adalah Cermin Rakyat
Pemimpin adalah cermin rakyatnya artinya bila rakyatnya zalim, maka Allah akan memberikan pemimpin yang seperti mereka. Demikian juga jika rakyatnya shalih, maka Allah akan memberikan pemimpin untuk mereka yang shalih juga, Allah Ta’ala berfirman:
وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Dan demikianlah Kami jadikan sebagian kaum zalim sebagai pemimpin untuk sebagian lainnya disebabkan perbuatan mereka.” (QS. Al An’am : 129).
Abul Walid Ath Thurthusyi rahimahullah berkata, “Jika engkau berkata bahwa para pemimpin di zaman ini tidak sama dengan para pemimpin di zaman dahulu, maka rakyat di zaman ini pun tidak sama dengan rakyat di zaman dahulu. Jika engkau mencela pemimpinmu bila dibandingkan dengan pemimpin dahulu maka pemimpinmu pun berhak mencelamu bila dibandingkan dengan rakyat dahulu. Maka apabila pemimpinmu menzalimimu hendaklah engkau bersabar dan dia yang akan menanggung dosanya…
Aku selalu mendengar orang-orang berkata, ‘Perbuatan kamu adalah (keadaan) pemimpin kamu’. Juga perkataan, ‘Sebagaimana kamu berada pada suatu keadaan, demikianlah keadaan pemimpinmu’. Sampai aku mendapatkan makna ini ada dalam Alquran, Allah Ta’ala berfirman:
Dan demikianlah Kami jadikan sebagian kaum zalim sebagai pemimpin untuk sebagian lainnya disebabkan perbuatan mereka“. (QS. Al An’am : 119).
Dan dikatakan, “(Pemimpin) yang kamu ingkari di zamanmu adalah akibat kerusakan amal perbuatanmu”. Dan Abdul Malik bin Marwan pernah berkata, “Bersikap adillah wahai rakyat! Kamu menginginkan perjalanan kami seperti perjalanan Abu Bakar dan Umar, namun sikap kamu kepada kami tidak seperti mereka berdua”. (Sirajul Muluk, 100-101).[8]
Akibat Memberontak
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Orang yang memberontak kepada penguasa selalu menimbulkan keburukan yang lebih besar dari kebaikannya, seperti orang-orang yang memberontak kepada Yazid bin Mu’awiyah di kota Madinah, Ibnul Asy’ats memberontak kepada Abdul Malik bin Marwan di Iraq, Ibnul Muhallab yang memberontak kepada anaknya di Khurasan, Abu Muslim yang memberontak di Khurasan, orang-orang yang memberontak kepada Al Manshur di kota Madinah, dan lain sebagainya.
Puncak perbuatan mereka adalah dikalahkan atau menang kemudian setelah itu kekuasaannya akan segera hilang sehingga tidak mempunyai akibat yang baik. Seperti Abdullah bin Ali dan Abu Muslim telah banyak membunuh orang dan keduanya dibunuh oleh Abu Ja’far Al Manshur. Demikian pula Ahlul Harrah, Ibnul Asy’ats dan Ibnul Muhallab mereka semua kalah beserta pengikutnya. Akibatnya mereka tidak menegakkan agama tidak juga memperbaiki dunia, sedangkan Allah Ta’ala tidak memerintahkan kepada sesuatu yang tidak menghasilkan kebaikan agama tidak pula dunia. Walaupun pelakunya termasuk wali-wali Allah yang bertaqwa akan tetapi mereka tidak lebih utama dari Ali, Aisyah, Thalhah, dan yang lainnya. Lagi pula peperangan di antara mereka pun tidak terpuji, padahal mereka mempunyai kedudukan yang amat tinggi di sisi Allah dan lebih baik niatnya dari selain mereka.
Ini menunjukkan bahwa perintah Nabi shallallah ‘alaihi wasallam untuk bersabar menghadapi kejahatan penguasa dan tidak memberontak kepada mereka adalah perkara yang paling mashlahat untuk hamba dalam kehidupan dunia dan akhirat mereka. Orang yang sengaja menyelisihinya atau karena ijtihad yang salah, perbuatannya itu tidak akan memberikan mashlahat bahkan malah mafsadah. Oleh karena itu, Nabi shallallah ‘alaihi wasallam memuji Al Hasan bin Ali:
إِنَّ ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ وَلَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ عَظِيمَتَيْنِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ
Sesungguhnya anakku ini adalah sayyid, semoga Allah mendamaikan dengannya dua pasukan besar dari kaum muslimin.” (HR. Bukhari)[9]
Nabi shallallah ‘alaihi wasallam tidak memuji siapa pun; tidak memuji orang yang berperang di masa fitnah, tidak pula orang yang memberontak kepada penguasa, tidak pula orang yang mencabut ketaatannya, tidak pula orang yang memisahkan diri dengan jamaah (kaum muslimin).[10]
Sungguh benar apa yang dikatakan oleh ulama yang Rabbani ini, apa yang kita saksikan di zaman ini seperti di Al Jazair, sebagian negara Afika Timur dan Utara,  kaum muslimin ditangkap dan dibunuhi bahkan sampai hari ini masih berlangsung akibat ketergesa-gesaan sebagian penuntut ilmu dan ustadznya yang terjun ke medan dakwah, mereka ditanya dan menjawab dengan tanpa ilmu sehingga sesat dan menyesatkan. Laa haula walaa quwwata illa billah.

[1] Bukhari no 7084 dan Muslim 3:1475 no 1847.
[2] Muslim 3:1476 no 1847.
[3] Dihasankan oleh Syaikh Al Bani dalam Dzilalul Jannah no 1057. Dan hadis ini mempunyai asal dalam shahih Muslim dengan lafadz:
وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
Barang siapa yang mati dalam keadaan tidak berbaiat maka ia mati bangkai jahiliyah.
[4] Al Khallal, Assunnah, 1:81 tahqiq Dr ‘Athiyah Az Zahrani.
[5] Muslim no 1854.
[6] Muslim no 1855.
[7] Syarah Aqidah Thahawiyah, 2:543 tahqiq Syu’aib Al Arnauth.
[8] Lihat Fiqih Siyasah Syar’iyyah, Hal 160-161.
[9] Bukhari no 7109.
[10] Ibnu Taimiyah, Minhajussunnah 4/527-531 secara ringkas, lihat kitab Al Fitnah hal 57
Sumber : http://cintasunnah.com

No comments: