Univ. Islam Madinah dibalik Do’a Ayah
Lelaki itu seperti lelaki tua biasa. Biasanya lelaki tua sepertinya ditemui di lambung Masjid Nabawi, sebagai jamaah umroh
akibat terlalu lama menunggu giliran haji. Atau lelaki tua sepertinya
ada di sawah, kelelahan mencangkul walau matahari baru naik setengah.
Bisa juga lelaki sepertinya kita temui sedang duduk-duduk di teras
sambil menghias pot bunga, membersihkan rumput, dan menanam pohon kecil
di pekarangan. Atau, kalau kita menyaksikan berita banjir di TVRI,
lelaki seperti ini biasanya diwawancarai karena terlambat mendapat jatah
bantuan mie instan. Dia jenis lelaki yang mudah didapati. Lelaki tua
yang biasa ditemui dalam kehidupan sehari-hari.
Diusianya yang sudah memasuki kepala enam, wajar jika
seluruh rambut di kepalanya memutih. Tiap-tiap helai itu adalah
gambaran masalah yang dilaluinya, guratan-guratan kerut di wajahnya
adalah lambang goresan waktu yang jemawa. Tangan kanan dan kirinya tak
lagi sekuat dulu. Bahunya yang dulu kekar, kini mulai kurus dan
membungkuk. Ototnya lemah. Kadang dia beristighfar sambil menarik
napas panjang ketika lelah. Tapi kawan, matanya istimewa. Di situlah
pusat gravitasi pesona dirinya. Matanya itu, sang jendela hati, adalah
layar yang mempertontonkan jiwanya yang tak pernah kosong. Seseorang
yang biasa kucium tangannya. Ayah, kupanggil ia.
Ayahku adalah ayah pada umumnya. Ayah yang ketika aku kecil, menyediakan tempat duduk istimewa untukku saat karnaval kota malam Idul Fitri.
Dia mendudukkanku di bahunya, digenggamnya erat kakiku agar nyaman saat
duduk. Tak ia pedulikan karnaval itu. Karena tawaku adalah karnaval
baginya. Bahagiaku adalah iringan semangat hidupnya.
Aku juga masih kecil saat itu. Ayah hanya seorang supir truk batubara di pedalaman Kalimantan. Bekerja selepas Isya lalu pulang sehabis Shubuh.
Ayah adalah lelaki pendiam, tak banyak bicara. Tak suka memukul. Tak
pandai ia marah. Walau begitu, ayah adalah tolak ukur tindakan bagiku,
contoh hidup tingkah laku. Tak pernah ia cerewet menyuruhku salat. Ia
hanya mengerjakan, lalu mengajakku bersamanya. Sesederhana itu, Kawan.
Ia juga sangat ingin aku sering-sering membaca Al-Quran, walau tak pernah ia menyuruh. Walau tak pernah ia mencontohkan cara membaca Al-Quran. Kau tahu kenapa, Kawan? Karena kutahu, ia pun terbata membacanya.
Biasanya aku menghabiskan waktu bersama ayahku tiap
akhir pekan. Aku senang berada di bak truk besarnya. Beliau duduk
bersamaku sambil bercerita. Tentang para pahlawan, tentang
panorama-panorama, bintang dan planet-planetnya, tentang semesta, juga
tentang kota-kota yang pernah disinggahinya. Dia senang bercerita
tentang banyak kota, dan aku tahu kota impiannya adalah Mekkah dan
Madinah. Jauh, jauh di lubuk hatinya ia mendambakan kota itu melebihi
kota manapun di dunia. Walau dia tak mengatakannya langsung, tapi aku
tahu dengan sendirinya, seolah ada bahasa lain selain bahasa lisan,
bahasa yang dijalin antara seorang anak dan ayahnya dari hati ke hati.
“Ayah ingin sekali pergi haji.”
Begitu kiranya jika kata itu diucapkan.
…
Aku masih muda, sedang ayah menua. Semenjak krisis
ekonomi, harga batubara anjlok. Ayah dengan setumpuk masalah keuangan
yang menimpanya bangkrut. Truk besar tua kami mogok. Rusak. Sekarat.
Seolah bosan terlalu lama memikul bongkahan-bongkahan batu hitam langka.
Tak bisa lagi diperbaiki karena tak ada biaya. Ayah tak bisa lagi
bekerja. Ayah menganggur bertahun-tahun lamanya.
Ayah pun sekarang menikmati masa tuanya dengan
belajar banyak dari agama. Sering pergi ke kajian-kajian ilmiah. Rajin
ia membaca. Berlama-lama dengan kumpulan buku dan majalahnya. Jiwa tua
itu masih sangat antusias. Sesuatu yang tak ia dapat selagi muda.
Matanya, iya matanya, selalu membulat ketika menjelaskan kalau bid’ah
itu semuanya sesat. Walau kata-katanya sedikit, aku dibuatnya percaya
kalau semua kesesatan itu tempatnya di neraka. Dia juga orang paling
mengamati tiap senti celana. Dijaganya agar aku tak menjulurkan pakaian
melebihi batasnya. Ayah sangat senang pergi ke masjid. Tak pernah absen
ia ke sana. Tubuh tuanya itu mendadak kuat jika berjalan sebelum waktu Shubuh yang dingin, dan jika ia pergi ke masjid sebelum Maghrib, maka ia akan datang ke rumah setelah Isya. Dengan kaki-kaki tuanya. Hampir satu kilometer jauhnya.
Setelah lulus sekolah menengah atas di sebuah kota di Banjarmasin, aku merantau belajar menjadi mekanik handphone dan komputer di tempat pamanku, di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Setelah setahun di sana dan merasa punya skill,
aku kembali ke Banjarmasin dengan tujuan bisa kuliah sambil membuka
sebuah toko [i/service handphone dan komputer. Aku mulai membeli
alat-alat service, juga iklan di sana-sini. Mendadak, aku terkenal dengan julukan tukang handphone.
Aku menjalankan bisnis ini pelan-pelan, dari pintu ke pintu. Mulai dari
keluarga sampai orang-orang di sekitarku. Pelangganku pun
bermacam-macam, Kawan. Dari tukang kambing, pedagang asongan,
pengangguran, ustadz, ibu rumah tangga, sampai mahasiswa. Kau
tahu, Kawan, kenapa mereka senang aku memperbaiki telepon tangan mereka?
Jawabannya adalah karena mereka bisa menentukan garansi semau mereka.
Namun hari itu, Kawan, hari itu adalah hari aku bersama ayah pergi ke sebuah majelis taklim, di mana setelah memberikan tausiyah, seorang ustadz menawarkan beasiswa bagi lulusan SMA yang ingin menghafal Al-Quran di Bogor. Ayah menunduk. Didengarnya iklan itu dengan seksama. Aku melihat matanya.
“Ayo kita pulang, Yar.”
Mata teduhnya tak bisa mengecohku. Sembilan belas tahun menjadi anaknya tentu aku mengerti maksudnya.
Ia ingin Aku lebih baik darinya. Bisa membaca Al-Quran dengan sempurna. Tak seperti dirinya yang terbata. Namun tak bisa ia meminta. Ia masih tak banyak bicara.
“Saya mendaftar beasiswa itu, Yah. Kalau diterima Saya langsung berangkat ke Bogor.”
Kulihat matanya membulat. Wajahnya berseri
seketika.Walau tanpa kata, namun ada senyum di sana. Bagiku, melihatnya
tersenyum adalah sebuah harta.
...
Dan akhirnya aku benar-benar mendapatkan beasiswa itu. Walau aku tahu, aku sebenarnya tidak bisa membaca Al-Quran
dengan baik, setidaknya aku akan berusaha. Setidaknya aku akan belajar
untuk membuatnya bangga. Aku ingin mengajarinya, membaca Al-Quran bersamanya. Walau aku sadar, Aku hanya seorang tukang service handphone. Tapi Kawan, bukankah Syaikh Albani yang nama beliau sering kujumpai di buku dan majalah ayahku juga pernah menjadi seorang mekanik jam?
Hari itu aku meninggalkannya merantau lagi ke pulau
Jawa. Setelah mencium tangannya, aku memeluknya. Hangat sekali peluknya,
seperti selimut bagi seorang gelandangan kota Malang yang kedinginan.
Jam dua malam.
“Hati-hati, Yar.”
Ia masih tak banyak berkata. Namun pelukannya itu
bermakna. Nasihatnya mengandung harapan besar. Harapan agar anaknya
bernasib lebih baik darinya. Dan begitulah seorang ayah seharusnya.
...
Aku merantau, menuju pulau Jawa. Tak muluk aku ingin jadi orang yang hafal Al-Quran, bagiku bisa membaca Al-Quran
dengan baik saja sudah lebih dari cukup. Mungkin bisa menjadi imam di
kampung saat tarawih dengan ayahku menjadi makmum saja, aku sudah sangat
bahagia. Karena aku telah berjanji membuatnya bangga. Tapi karena
Allah, tetap menjadi niat yang utama.
...
Musim-musim berganti, setiap tahun aku pulang sekali.
Mengunjungi ayah yang kurindui setiap hari. Ayahku adalah anak keenam
dari empat belas bersaudara. Semuanya kaya raya kecuali dia, semua sudah
naik haji kecuali dia.
Kini, setelah ia tak lagi memiliki perkerjaan,
harapannya untuk naik haji hilang pelan-pelan. Namun bukan ayah namanya
jika kehilangan semangatnya, dengan sedikit uangnya ia ikut mencicil TV
kabel berlangganan, yang mana dibayar urunan beberapa keluarga dalam
satu perumahan. Dengan TV tabung tahun 1998, dicarinya channel
Mekkah dan Madinah. Di saat ia tidak berada di masjid, maka acara dua
stasiun TV Arab Saudi itulah teman kesukaannya. Ia senang menonton
sambil bersandar pada sebuah kursi. Jika ia bosan dengan siaran di
Mekkah, maka digantinya ke siaran stasiun Madinah, jika bosan lagi, maka
akan kembali ke stasiun semula. Terus berpindah seperti itu. Layaknya metromini
jurusan Blok M-Pasar Minggu yang tak singgah ke terminal lain. Jika si
tukang kameramen mengambil gambar Masjid Nabawi, lalu menyorot karpet
hijau antara mimbar dan makam Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam, maka bibirnya bergerak, seolah ia sedang meminta, berharap agar doanya diterima. Lain lagi jika sang kameramen menyorot ka’bah,
maka ayah bangun dari sandarannya, dipasangnya kacamatanya agar tak
samar pandangannya, seolah ia membayangkan dirinya berada di sana lalu
mengitari rumah tua itu dengan bahagianya. Dipandangnya ka’bah dan beberapa bagian Masjidil Harom dengan haru, lalu diliriknya wajahku, seolah berkata,
“Kau lihat, Yar.. itu prosesi umroh. Lihat Yar! Lihat Baitullah, itu kiblat kita. Tahukah engkau, Anakku, Ayah sangat ingin ke sana. Ayah ingin mencium hajar aswad, Ayah ingin berlari-lari kecil seperti orang di Shafa dan Marwa itu, Yar.. Lihat! ”
Aku kelu. Pria pendiam ini juga menyimpan cita-citanya dalam diam.
Yang membuat pilu di hatiku semakin ngilu adalah
ketika melihatnya di masjid bergaul dengan teman-teman seumurannya yang
semuanya juga sudah pernah menunaikan ibadah haji. Adalah adat di
kampung kami bahwa sebuah pemuliaan panggil memanggil dengan sebutan
“haji”. Teman-temannya kadang memanggil ayah dengan sebutan haji hanya
untuk memuliakan ayah yang umurnya terlihat lebih tua dari mereka. Aku mafhum,
ayah kelu di hatinya. Ingin ia seperti teman-temannya. Panggilan itu
hanya fatamorgana untuknya. Seperti melihat air di aspal nun jauh, semu,
tak ada apa-apa.
Pernah suatu hari ayah menolong seseorang di jalan. Orang itu berterima kasih sembari mendoakan,
“Terimakasih, Pak. Semoga Bapak cepat naik haji,” lirihnya.
Hari itu aku melihat ayahku tersenyum. Senyum itu,
Kawan, senyum itu begitu dalam maknanya, untukku dan untuknya. Untuknya
karena doa itu masuk ke hatinya lalu ia berharap agar di-ijabah
Tuhan pemilik timur dan barat. Untukku, karena aku ingin sekali melihat
ayahku tersenyum lagi, seperti hari ini, aku ingin sekali ayah pergi ke
rumah Allah. Tuhan pemilik arah kiblat.
...
Di tengah perantauanku di Pulau Jawa. Setelah berganti-ganti pondok tahfizh
beberapa kali, aku bermukim di Jogja. Hari itu, aku menelpon ayah,
mengabari bahwa ada tes penerimaan mahasiswa baru Universitas Islam
Madinah. Pria tua itu terperanjat. Lalu membanjiriku dengan kata.
Bercerita ia, tiap detail katanya adalah semangat dan intonasinya berupa
letupan-letupan motivasi. Ia laksana merapi yang menumpahkan seluruh
larva. Mencurahkan apa yang ia rasa. Ia berjanji akan memberiku apapun
yang kuperlukan untuk bisa ikut tes perguruan tinggi yang ia katakan
sebagai universitas Islam terbaik di dunia. Aku pun terperanjat. Ganjil
sekali, seolah itu bukan ayahku yang pendiam.
Dan yang paling membuatku haru adalah ketika ia
berkata, “Jangan pikirkan masalah uang, Nak, jangan pikirkan. Ayah yang
akan mencarikan. Insya Allah.”
Terisak ia.
Kau tahu, Kawan, ayahku sekarang hanya supir ambulan
sebuah masjid, itu pun terkadang. Tak setiap hari ia dapat uang. Ia
berjanji akan menyisipkan namaku dalam setiap doanya, di sepertiga
malamnya. Setiap harinya.
...
Hari itu dua puluh dua tahun usiaku. Berada di pedalaman Jawa selepas salat Shubuh.
Aku bersama dua orang temanku, Isnan dan Mukhroji. Kami baru saja
mengikuti tes masuk Universitas Islam Madinah di Pondok Pesantren
Darussalam, Gontor, Ponorogo. Kami memutuskan pulang setelah Shubuh.
Nahas, pedalaman Ponorogo itu bukanlah Bogor yang angkot bisa lewat 24
jam. Kami menunggu sampai matahari meninggi. Berharap ada tumpangan
transportasi.
Mukhroji cemas, ia harus secepatnya sampai ke Tegal
karena ada suatu urusan keluarga. Berkali-kali pemuda tinggi ini menoleh
ke sana-kemari berharap angkutan pedesaan segera datang. Sebentar
duduk, ia bangkit berdiri, lalu menoleh lagi. Kawanku ini mungkin
mendapat musykil yang berat dalam keluarganya. Lain lagi si
Isnan, pemuda ramah asal Klaten ini ingin cepat pulang karena hampir
setiap hari di sini ia memakan pecel khas Jawa Timur. Yang mana efek
sampingnya adalah bosan, tak selera makan, dan sedikit mengganggu
pencernaan. Pemuda terakhir, yaitu Aku, dengan alasan yang sama dengan
Isnan. Karena kami membeli makanan secara patungan. Di pagi itu, kami
menunggu dengan kumpulan rasa bosan.
Namun di ujung jalan, sayup-sayup bayangan kecil
muncul, membesar dan kian dekat dengan tiga orang malang tadi. Bayangan
itu menjadi nyata berupa sebuah mobil besar, gagah, dan nyaring
bunyinya. Sebuah truk. Namun wajah dua temanku datar. Berbeda denganku
yang sumringah tiap melihat sebuah truk. Kulambaikan tangan, girang aku.
Berteriak-teriak seperti anak kecil yang baru pertama kali melihat
ayunan di sebuah taman bermain.
Truk itu berhenti. Aku membuka pintu. Seorang pria di
sana. Tak terlalu muda. Kutaksir empat puluhan umurnya. Pandangan
matanya, seolah sudah tahu sebelumnya bahwa tiga orang di pinggir jalan
itu hanya akan merepotkannya. Wajahnya sangar. Mimiknya kasar. Otot-otot
badannya besar. Ia mirip tukang pukul seorang pejabat yang baru saja
dilantik menjadi bupati.
Namun semua itu mencair ketika aku menatap matanya.
Seolah ia melihat sesuatu di wajahku. Wajah yang seolah bicara.
Berbicara bahwa ayahku adalah supir truk seperti dirinya. Dia pun seolah
mengerti apa yang kubahasakan lewat wajah. Mungkin ada bahasa yang
kurasa hanya aku dan para supir-supir truk saja yang memahaminya. Atau
mungkin juga karena wajahku memelas dengan sempurna.
“Naiklah!” Ia langsung ramah. Entah kemana si tukang pukul bupati ini menaruh mimik seram yang diperagakannya sebelumnya.
Isnan dan Mukhroji naik dan duduk disamping sang
supir. Hanya bisa untuk dua orang tempat duduknya. Aku? Ah, Kawan, aku
mencari tempat favoritku. Menaiki bak truk itu. Bak itu hanya persegi
panjang dari besi dengan sisa-sisa pasir berhamburan, melayang dan
berputar terbawa angin. Aku duduk di sana. Hening. Bergoyang-goyang di
jalan pedesaan yang bergelombang. Aku melamun. Di sana seolah ada lorong
waktu yang membawaku jauh. Jauh ke masa lalu. Ke masa kecilku. Bersama
ayahku di sebuah bak truk. Aku melihat ia bercerita. Aku mendengar
intonasi khasnya. Aku mendengar suara kecilku tertawa. Aku merasa tubuh
kecilku digendongnya. Wajah mudanya masih kuingat dalam pikiranku.
Sesekali ia bercerita sambil mengusap rambut ikalku. Aku terbuai
fantasi. Indah sekali.
Lorong waktu itu lalu mengembalikanku ke dunia nyata.
Aku sendiri di sini merindukannya. Dalam sebuah bak truk dengan
sisa-sisa pasir di dalamnya. Mataku sakit diserang butiran-butiran pasir
yang melayang dalam pusaran angin di bak. Tapi bukan itu alasanku untuk
meneteskan air mata. Air itu jatuh karena aku rindu pada ayah. Rindu
tak terkira.
...
Beberapa musim berganti dengan cepatnya. Banyak
hal-hal yang tak pernah kita kira dan kita duga. Sebuah doa melesat ke
langit dan dijawab oleh Tuhan Pemilik Semesta. Aku akhirnya diterima.
Aku dapat beasiswa ke Madinah. Lagi-lagi aku merantau jauh meninggalkan
seorang lelaki tua. Sebelum pergi aku memeluknya. Ia kembali menjadi
dirinya yang tak banyak berkata. Tapi aku tahu, pelukan itu sudah
mengatakan semuanya. Bahwa ia bangga. Ia bangga anaknya bisa ke kota
impiannya. Kota yang sering ia ceritakan. Bahwa ia pun rela jika
seandainya tak pernah bisa ke Madinah, asal anaknya bisa. Anaknya bisa
lebih baik darinya. Bisa berangkat haji. Bisa salat dengan ganjaran
ribuan kali. Lalu kudengar kata keluar dari mulutnya, pujian untuk Ilahi Robbi.
...
Hari ini, di mana aku berdiri, di kota yang mulia
ini, adalah giliranku yang berusaha berbuat untuknya. Aku masuk dalam
program persiapan bahasa, dua tahun lamanya, sebelum bisa kuliah di
salah satu jurusan yang tersedia. Berada di sini adalah level terendah
seorang mahasiswa. Aku di sini adalah gabungan antara kejahilan bahasa
dan keberuntungan bisa berada di sini semakin lama.
Kau tahu, Kawan, Kau bisa saja merendahkanku karena
hinanya aku di mata kalian, kita berbeda, Kawan. Aku masih memiliki ayah
yang harus kubahagiakan. Tiap uang yang kuterima kusisihkan, tiap
lantunan doa kuselipkan. Aku ingin pergi haji bersama ayahku. Aku ingin
mengitari ka’bah bersamanya. Menuntunnya. Berlari kecil di sampingnya antara Shafa dan Marwa.
Aku ingin membimbingnya. Aku ingin suatu hari ia melihatku berada di
kampus kita, yang ia sangka terbaik di dunia. Aku ingin ia tahu kalau
aku sudah bisa membaca Al-Quran] di Masjid Nabawi. Aku ingin memanjatkan doa bersamanya di Raudhoh. Ingin kuceritakan ia tentang seluk beluk kota ini, kota impiannya. Seperti ia menceritakan padaku ketika aku kecil.
Kapankah itu? Entahlah, Kawan. Entahlah kapan. Aku hanya ingin melihatnya tersenyum lagi. Tersenyum saat pergi haji.
…
…
Ayahku adalah lelaki tua seperti biasanya. Lelaki
sepertinya bisa kita jumpai di mana saja. Tapi bagiku, ayah adalah
lelaki istimewa. Aku bertahan di sini menunggunya. Menunggu keajaiban
Tuhan untuknya. Akan tibakah saatnya?
…
…
Ini adalah cerita sederhana sebuah kata. Kata yang kita semua memilikinya. Entah kita masih memilikinya, atau telah tiada.
‘Ayah.’
Oleh: Akhyar Hadi, Mahasiswa Univ. Islam Madinah angkatan 1433 H
Juara I Kategori: Lomba Karya Tulis Bebas Pekilo UIM
Nb: Cerita diangkat dari kisah nyata seorang
mahasiswa Univ. Islam Madinah angkatan tahun 1433-1434 H. Tulisan ini
berhasil memenangkan Lomba Karya Tulis Bebas dan terpilih sebagai Juara
Satu dalam acara tahunan Pekilo (Pekan Kegiatan Ilmiah dan Olahraga) UIM
1434 H.
Sumber: http://serambimadinah.net, Cerita Sebuah Kata, di posting oleh Najib M. Fattah./ alsofwah
No comments:
Post a Comment