Bersemangat Mencari Nafkah - MERODJA

Update

Monday, January 27, 2014

Bersemangat Mencari Nafkah





















Seorang muslim harus berusaha hidup berkecukupan, memerangi kemalasan, semangat dalam mencari nafkah, berdedikasi dalam menutupi kebutuhan, dan rajin bekerja demi memelihara masa depan anak agar mampu hidup mandiri sehingga tidak menjadi beban bagi orang lain.

Meninggalkan anak cucu dalam kondisi berkecukupan lebih baik dari pada mereka hidup terlunta-lunta menjadi beban orang lain, seperti disebutkan dalam firman-Nya:

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا
"Dan hendaklah TAKUT KEPADA ALLAH orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar." (An- Nisaa': 9).
Imam Al Baghawi berkata, bahwa yang dimaksud dengan "dzurriyatan dhi’afan" adalah anak-anak yang masih kecil, yang dikhawatirkan tertimpa kefakiran." (Tafsir Maalimut Tanzil Al Baghawi, Juz 2,hlm. 170. Lihat juga tafsir Al Qurthubi, Juz 4. hlm. 35).
Ali bin Abu Thalhah radhiyallahu 'anhu berkata, bahwa Abdullah Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu berkata:
"Ayat di atas turun untuk seseorang yang ketika menjelang ajalnya berwasiat yang merugikan ahli warisnya. Maka Allah menganjurkan kepada orang yang mendengar wasiat tersebut agar bertakwa kepada Allah dan mengarahkan kepada wasiat yang benar dan lurus. Dan hendaknya orang tersebut prihatin terhadap kondisi ahli warisnya, jangan sampai mereka terlantar dan menjadi beban orang lain sepeninggalnya". (Tafsir Ath Thabari, Juz 4 hlm. 181).
Umar bin Al Khaththab radhiyallahu 'anhu berkata:
"Wahai ahli qira’ah. Berlombalah dalam kebaikan, dan carilah karunia dan rezeki Allah, dan janganlah kalian menjadi beban hidup orang lain." (Jaami' Bayaanil 'Ilmi wa Fadhlihi, Ibnu Abdiul Barr, Juz 2, hlm. 35).
Said bin Musayyib berkata:
"Barangsiapa berdiam di masjid dan meninggalkan pekerjaan, lalu menerima pemberian yang datang kepadanya, maka (ia) termasuk mengharap sesuatu dengan cara meminta-minta." (Talbisul Iblis, Ibnul Jauzi, hlm. 300).
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Seseorang senantiasa meminta-minta kepada manusia hingga ia akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan tidak ada sekerat daging pun di wajahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sa’id bin al-Musayyib rahimahullah mengatakan:
“Tidak ada kebaikan pada orang yang tidak mengumpulkan harta (mencari nafkah), yang dengan harta itu ia bisa menjaga kehormatan dirinya dan melaksanakan amanatnya.” [Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/720, no. 1312)]
Abu Qasim Al Khatli bertanya kepada Imam Ahmad:
"Apa pendapat anda terhadap orang yang hanya berdiam di rumah atau di sebuah masjid, lalu berkata aku tidak perlu bekerja karena rezekiku tidak akan lari dan pasti datang’?" Maka beliau menjawab: "Orang tersebut bodoh terhadap agama. Apakah (ia) tidak mendengarkan sabda Rasulullah, ‘Allah menjadikan rezekiku di bawah kilatan pedang (jihad)’." (Talbisul Iblis, Ibnul Jauzi, hlm. 302).
Sahl bin Abdullah At Tustari berkata:
"Barangsiapa yang merusak tawakkal, berarti telah merusak pilar keimanan. Dan barangsiapa yang merusak pekerjaan, berarti telah membuat kerusakan dalam Sunnah." (Talbisul Iblis, Ibnul Jauzi, hlm. 299).
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata:
"Tidaklah ada seseorang yang malas bekerja, melainkan berada dalam dua keburukan. Pertama, menelantarkan keluarga dan meninggalkan kewajiban dengan berkedok tawakkal, sehingga hidupnya menjadi batu sandungan buat orang lain dan keluarganya berada dalam kesusahan. Kedua, demikian itu suatu kehinaan yang tidak menimpa, kecuali orang yang hina dan gelandangan. Sebab, orang yang bermartabat tidak akan rela kehilangan harga diri hanya karena kemalasan dengan dalih tawakkal yang sarat dengan hiasan kebodohan. Boleh jadi seseorang tidak memiliki harta, tetapi masih tetap punya peluang dan kesempatan untuk berusaha." (Talbisul Iblis, Ibnul Jauzi, hlm. 303).
Allah Ta'ala berfirman:
وَلَقَدْ مَكَّنَّاكُمْ فِي الأرْضِ وَجَعَلْنَا لَكُمْ فِيهَا مَعَايِشَ قَلِيلا مَا تَشْكُرُونَ
"Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi itu (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur." (Al A'raaf: 10)
Sehubungan dengan ayat tsb, Al-Imam Ibnu Katsir berkata:
"Allah mengingatkan kepada seluruh umat manusia tentang karunia-Nya berupa kehidupan yang mapan di muka bumi, dilengkapi dengan gunung-gunung yang terpancang kokoh, sungai-sungai yang mengalir indah, dan tanah yang siap didirikan tempat tinggal dan rumah hunian, serta Allah menurunkan air hujan berasal dari awan. Dan Allah juga MEMUDAHKAN kepada mereka untuk mengais rezeki dan MEMBUKA PELUANG MAISYAH (penghidupan) DENGAN BERBAGAI MACAM USAHA, BISNIS dan NIAGA, namun sedikit sekali mereka yang mau bersyukur". (Tafsir Ibnu Katsir, juz 3,hlm. 282).
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga pernah mengatakan kepada Sa’ad bin Abi Waqqas:
"Sesungguhnya bila kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan, (itu) lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam kekurangan menjadi beban orang lain." (HR. Bukhari no. 2742, Muslim no. 1628, Tirmidzi no. 2116).
Dari Ayyub, bahwa Abu Qilabah berkata:
"Dunia tidak akan merusakmu selagi kamu masih tetap bersyukur kepada Allah," maka Ayyub berkata bahwa Abu Qilabah berkata kepadaku: "Wahai, Ayyub! Perhatikan urusan pasarmu dengan baik, karena hidup berkecukupan termasuk bagian dari sehat wal afiat." (Diriwayatkan Abu Nu’aim dalam Al Hilyah, 2/286).
Penjelasan di atas menepis anggapan bahwa mencari nafkah dengan cara yang benar agar hidup mandiri dan tidak menjadi beban orang lain merupakan cinta dunia yang menodai sikap kezuhudan. Padahal tidaklah demikian.
Abu Darda berkata:
"Termasuk tanda pemahaman seseorang terhadap agamanya, adanya kemauan untuk mengurusi nafkah rumah tangganya."
(Diriwayatkan Ibnu Abid Dunya dalam Ishlahul Mal, hlm. 223, Ibnu Abi Syaibah no.34606 dan Al Baihaqi dalam Asy Syuab, 2/365)
Ali bin al-Fudhail berkata: Aku mendengar ayahku berkata kepada Ibnul Mubarak:

أنت تأمرنا بالزهد والتقلل، والبلغة، ونراك تأتي بالبضائع، كيف ذا ؟
"Anda menyuruh kami untuk zuhud dan hidup sederhana serta menerima apa adanya, sementara kami melihat anda membawa banyak dagangan (banyak harta), bagaimana ini?"
Ibnul Mubarak menjawab:
يا أبا علي، إنما أفعل ذا لاصون وجهي، وأكرم عرضي، وأستعين به على طاعة ربي.
"Wahai Abu Ali, sesungguhnya aku melakukan semua ini untuk menjaga wajahku, memuliakan kehormatanku dan untuk membantuku dalam ketaatan kepada Rabb-ku."
[Siyaru A'laamin Nubala (VIII/387), Tarikhu Baghdad (X/160). Lihat "Sudah Salafikah Akhlak Anda?" Pustaka At-Tibyan, Solo, dan "Bagaimana Para Salaf Mencari Nafkah", Al-Qowam, Solo]

SEMANGAT...!!


Disalin dari seorang sahabat saya di Facebook
Abu Muhammad Herman, semoga Allah menjaganya.

No comments: