Agar Buah Hati Menjadi Penyejuk Hati
بسم الله الرحمن الرحيم
Kehadiran sang buah hati dalam sebuah rumah tangga
bisa diibaratkan seperti keberadaan bintang di malam hari, yang
merupakan hiasan bagi langit. Demikian pula arti keberadaan seorang anak
bagi pasutri, sebagai perhiasan dalam kehidupan dunia. Ini berarti,
kehidupan rumah tangga tanpa anak, akan terasa hampa dan suram.
Allah berfirman:
{الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَاباً وَخَيْرٌ أَمَلاً}“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal dan shaleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan” (QS al-Kahfi: 46).
Bersamaan dengan itu, nikmat keberadaan anak ini
sekaligus juga merupakan ujian yang bisa menjerumuskan seorang hamba
dalam kebinasaan. Allah mengingatkan hal ini dalam firman-Nya:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلادِكُمْ عَدُوّاً لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ}“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka…” (QS At Taghaabun:14).
Makna “menjadi musuh bagimu” adalah melalaikan kamu dari
melakuakan amal shaleh dan bisa menjerumuskanmu ke dalam perbuatan
maksiat kepada Allah [1].
Ketika menafsirkan ayat di atas, syaikh Abdurrahman
as-Sa’di berkata: “…Karena jiwa manusia memiliki fitrah untuk cinta
kepada istri dan anak-anak, maka (dalam ayat ini) Allah memperingatkan
hamba-hamba-Nya agar (jangan sampai) kecintaan ini menjadikan mereka
menuruti semua keinginan istri dan anak-anak mereka dalam hal-hal yang
dilarang dalam syariat. Dan Dia memotivasi hamba-hamba-Nya untuk
(selalu) melaksanakan perintah-perintah-Nya dan mendahulukan
keridhaan-Nya…”[2].
Kewajiban mendidik anak
Agama Islam sangat menekankan kewajiban mendidik anak
dengan pendidikan yang bersumber dari petunjuk Allah dan Rasul-Nya .
Allah berfirman:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ}“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu” (QS at-Tahriim:6).
Ali bin Abi Thalib ketika menafsirkan ayat di atas berkata: “(Maknanya): Ajarkanlah kebaikan untuk dirimu dan keluargamu”[3].
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata: “Memelihara diri
(dari api neraka) adalah dengan mewajibkan bagi diri sendiri untuk
melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, serta bertobat
dari semua perbuatan yang menyebabkan kemurkaan dan siksa-Nya. Adapun
memelihara istri dan anak-anak (dari api neraka) adalah dengan mendidik
dan mengajarkan kepada mereka (syariat Islam), serta memaksa mereka
untuk (melaksanakan) perintah Allah. Maka seorang hamba tidak akan
selamat (dari siksaan neraka) kecuali jika dia (benar-benar)
melaksanakan perintah Allah (dalam ayat ini) pada dirinya sendiri dan
pada orang-orang yang dibawa kekuasaan dan tanggung jawabnya”[4].
Dalam sebuah hadits yang shahih, Rasulullah pernah
melarang Hasan bin ‘Ali y memakan kurma sedekah, padahal waktu itu Hasan
masih kecil, Rasulullah bersabda: “Hekh hekh” agar Hasan membuang
kurma tersebut, kemudian beliau bersabda: “Apakah kamu tidak mengetahui
bahwa kita (Rasulullah dan keturunannya) tidak boleh memakan sedekah?”[5].
Imam Ibnu Hajar menyebutkan di antara kandungan hadits ini adalah
bolehnya membawa anak kecil ke mesjid dan mendidik mereka dengan adab
yang bermanfaat (bagi mereka), serta melarang mereka melakukan sesuatu
yang membahayakan mereka sendiri, (yaitu dengan) melakukan hal-hal yang
diharamkan (dalam agama), meskipun anak kecil belum dibebani kewajiban
syariat, agar mereka terlatih melakukan kebaikan tersebut[6].
Metode pendidikan anak yang benar
Agama Islam yang sempurna telah mengajarkan adab-adab
yang mulia untuk tujuan penjagaan anak dari upaya setan yang ingin
memalingkannya dari jalan yang lurus sejak dia dilahirkan ke dunia ini.
Dalam sebuah hadits qudsi Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hamba-Ku semuanya dalam keadaan hanif (suci dan cenderung kepada kebenaran), kemudian setan mendatangi mereka dan memalingkan mereka dari agama mereka (Islam)”[7].
Dalam hadits shahih lainnya, Rasulullah bersabda:
“Tangisan seorang bayi ketika (baru) dilahirkan adalah tusukan (godaan
untuk menyesatkan) dari setan”[8].
Perhatikanlah hadits yang agung ini, bagaimana setan
berupaya keras untuk memalingkan manusia dari jalan Allah sejak mereka
dilahirkan ke dunia, padahal bayi yang baru lahir tentu belum mengenal
nafsu, indahnya dunia dan godaan-godaan duniawi lainnya, maka bagaimana
keadaannya kalau dia telah mengenal semua godaan tersebut?[9].
Maka di sini terlihat jelas fungsi utama syariat Islam
dan sunnah Rasulullah dalam menjaga anak yang baru lahir dari godaan
setan, melalui adab-adab yang diajarkan dalam sunnah Rasulullah yang
berhubungan dengan kelahiran seorang anak[10].
Sebagai contoh misalnya, anjuran Rasulullah bagi seorang suami yang akan mengumpuli istrinya, untuk membaca doa:
بسم الله اَللّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا“Dengan (menyebut) nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari (gangguan) setan dan jauhkanlah setan dari rezki[11] yang Engkau anugerahkan kepada kami”.
Rasulullah bersabda: “Jika seorang suami yang ingin
mengumpuli istrinya membaca doa tersebut, kemudian Allah menakdirkan
(lahirnya) anak dari hubungan tersebut, maka setan tidak akan bisa
mencelakakan anak tersebut selamanya”[12].
Berdasarkan keterangan di atas, jelaslah bahwa syariat
Islam merupakan satu-satunya metode yang benar dalam pendidikan anak,
yang ini berarti bahwa hanya dengan menerapkan syariat Islamlah
pendidikan dan pembinaan anak akan membuahkan hasil yang baik.
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin berkata: “Yang
menentukan (keberhasilan) pembinaan anak, susah atau mudahnya, adalah
kemudahan (taufik) dari Allah , dan jika seorang hamba bertakwa kepada
Allah serta (berusaha) menempuh metode (pembinaan) yang sesuai dengan
syariat Islam, maka Allah akan memudahkan urusannya (dalam mendidik
anak), Allah berfirman:
{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً}“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya” (QS. ath-Thalaaq:4)[13].
Pembinaan rohani dan jasmani
Cinta yang sejati kepada anak tidaklah diwujudkan
hanya dengan mencukupi kebutuhan duniawi dan fasilitas hidup mereka.
Akan tetapi yang lebih penting dari semua itu pemenuhan
kebutuhan rohani mereka terhadap pengajaran dan bimbingan agama yang
bersumber dari petunjuk al-Qur-an dan sunnah Rasulullah . Inilah bukti
cinta dan kasih sayang yang sebenarnya, karena diwujudkan dengan sesuatu
yang bermanfaat dan kekal di dunia dan di akhirat nanti.
Allah memuji Nabi-Nya Ya’qub yang sangat
mengutamakan pembinaan iman bagi anak-anaknya, sehingga pada saat-saat
terakhir dari hidup beliau, nasehat inilah yang beliau tekankan kepada
mereka. Allah berfirman:
{أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَهَكَ وَإِلَهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَهاً وَاحِداً وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ}“Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) kematian, ketika dia berkata kepada anak-anaknya, “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab, “Kami akan menyembah Rabb-mu dan Rabb nenek moyangmu, Ibrahim, Isma’il, dan Ishaq, (yaitu) Rabb Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk kepada-Nya” (QS al-Baqarah:133).
Renungkanlah teladan agung dari Nabi Allah yang mulia
ini, bagaimana beliau menyampaikan nasehat terakhir kepada anak-anaknya
untuk berpegang teguh dengan agama Allah[14],
yang landasannya adalah ibadah kepada Allah semata-semata (tauhid) dan
menjauhi perbuatan syirik (menyekutukan-Nya dengan makhluk). Dimana
kebanyakan orang pada saat-saat seperti ini justru yang mereka utamakan
adalah kebutuhan duniawi semata-mata; apa yang kamu makan sepeninggalku
nanti? Bagaimana kamu mencukupi kebutuhan hidupmu? Dari mana kamu akan
mendapat penghasilan yang cukup?
Dalam ayat lain Allah berfirman:
{وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لاِبْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ}“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi nasehat kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar” (QS Luqmaan:13).
Lihatlah bagaimana hamba Allah yang shaleh ini
memberikan nasehat kepada buah hati yang paling dicintai dan
disayanginya, orang yang paling pantas mendapatkan hadiah terbaik yang
dimilikinya, yang oleh karena itulah, nasehat yang pertama kali
disampaikannya untuk buah hatinya ini adalah perintah untuk menyembah
(mentauhidkan) Allah semata-mata dan menjauhi perbuatan syirik[15].
Manfaat dan pentingnya pendidikan anak
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah –
semoga Allah merahmatinya – berkata: “Salah seorang ulama berkata:
Sesugguhnya Allah pada hari kiamat (nanti) akan meminta
pertanggungjawaban dari orang tua tentang anaknya sebelum meminta
pertanggungjawaban dari anak tentang orang tuanya. Karena sebagaimana
orang tua mempunyai hak (yang harus dipenuhi) anaknya, (demikian pula)
anak mempunyai hak (yang harus dipenuhi) orang tuanya. Maka sebagaimana
Allah berfirman:
{وَوَصَّيْنَا الْأِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْناً}“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada kedua orang tuanya” (QS al-’Ankabuut:8).
(Demikian juga) Allah berfirman:
{قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ}“Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu” (QS at-Tahriim:6).
… Maka barangsiapa yang tidak mendidik anaknya (dengan
pendidikan) yang bermanfaat baginya dan membiarkannya tanpa bimbingan,
maka sungguh dia telah melakukan keburukan yang besar terhadap anaknya
tersebut. Mayoritas kerusakan (moral) pada anak-anak timbulnya (justru)
karena (kesalahan) orang tua sendiri, (dengan) tidak memberikan
(pengarahan terhadap) mereka, dan tidak mengajarkan kepada mereka
kewajiban-kewajiban serta anjuran-anjuran (dalam) agama.
Sehingga karena mereka tidak memperhatikan (pendidikan) anak-anak mereka sewaktu kecil, maka anak-anak tersebut tidak bisa melakukan kebaikan untuk diri mereka sendiri, dan (akhirnya) merekapun tidak bisa melakukan kebaikan untuk orang tua mereka ketika mereka telah lanjut usia. Sebagaimana (yang terjadi) ketika salah seorang ayah mencela anaknya yang durhaka (kepadanya), maka anak itu menjawab: “Wahai ayahku, sesungguhnya engkau telah berbuat durhaka kepadaku (tidak mendidikku) sewaktu aku kecil, maka akupun mendurhakaimu setelah engkau tua, karena engkau menyia-nyiakanku di waktu kecil maka akupun menyia-nyiakanmu di waktu engkau tua”[16].
Sehingga karena mereka tidak memperhatikan (pendidikan) anak-anak mereka sewaktu kecil, maka anak-anak tersebut tidak bisa melakukan kebaikan untuk diri mereka sendiri, dan (akhirnya) merekapun tidak bisa melakukan kebaikan untuk orang tua mereka ketika mereka telah lanjut usia. Sebagaimana (yang terjadi) ketika salah seorang ayah mencela anaknya yang durhaka (kepadanya), maka anak itu menjawab: “Wahai ayahku, sesungguhnya engkau telah berbuat durhaka kepadaku (tidak mendidikku) sewaktu aku kecil, maka akupun mendurhakaimu setelah engkau tua, karena engkau menyia-nyiakanku di waktu kecil maka akupun menyia-nyiakanmu di waktu engkau tua”[16].
Cukuplah sabda Rasulullah berikut menunjukkan besarnya manfaat dan keutamaan mendidik anak:
“إن الرجل لترفع درجته في الجنة فيقول: أنى هذا ؟ فيقال: باستغفار ولدك لك”.“Sungguh seorang manusia akan ditinggikan derajatnya di surga (kelak), maka dia bertanya: Bagaimana aku bisa mencapai semua ini? Maka dikatakan padanya: (Ini semua) disebabkan istigfar (permohonan ampun kepada Allah yang selalu diucapkan oleh) anakmu untukmu”[17].
Sebagian dari para ulama ada yang menerangkan makna
hadits ini yaitu: bahwa seorang anak jika dia menempati kedudukan yang
lebih tinggi dari pada ayahnya di surga (nanti), maka dia akan meminta
(berdoa) kepada Allah agar kedudukan ayahnya ditinggikan (seperti
kedudukannya), sehingga Allah pun meninggikan (kedudukan) ayahnya[18].
Dalam hadits shahih lainnya Rasulullah : “Jika seorang
manusia mati maka terputuslah (pahala) amalnya kecuali dari tiga
perkara: sedekah yang terus mengalir (pahalanya karena diwakafkan), ilmu
yang terus diambil manfaatnya (diamalkan sepeninggalnya), dan anak
shaleh yang selalu mendoakannya”[19].
Hadits ini menunjukkan bahwa semua amal kebaikan yang
dilakukan oleh anak yang shaleh pahalanya akan sampai kepada orang
tuanya, secara otomatis dan tanpa perlu diniatkan, karena anak termasuk
bagian dari usaha orang tuanya[20].
Adapun penyebutan “doa” dalam hadits tidaklah menunjukkan pembatasan bahwa hanya doa yang akan sampai kepada orangtuanya[21], tapi tujuannya adalah untuk memotivasi anak yang shaleh agar selalu mendoakan orang tuanya[22].
Adapun penyebutan “doa” dalam hadits tidaklah menunjukkan pembatasan bahwa hanya doa yang akan sampai kepada orangtuanya[21], tapi tujuannya adalah untuk memotivasi anak yang shaleh agar selalu mendoakan orang tuanya[22].
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani – semoga Allah
merahmatinya – berkata: “(Semua pahala) amal kebaikan yang dilakukan
oleh anak yang shaleh, juga akan diperuntukkan kepada kedua orang
tuanya, tanpa mengurangi sedikitpun dari pahala anak tersebut, karena
anak adalah bagian dari usaha dan upaya kedua orang tuanya. Allah
berfirman:
{وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى}“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (QS an-Najm:39).
Rasulullah bersabda: “Sungguh sebaik-baik (rezki)
yang dimakan oleh seorang manusia adalah dari usahanya sendiri, dan
sungguh anaknya termasuk (bagian) dari usahanya”[23].
Kandungan ayat dan hadits di atas juga disebutkan
dalam hadits-hadist (lain) yang secara khusus menunjukkan sampainya
manfaat (pahala) amal kebaikan (yang dilakukan) oleh anak yang shaleh
kepada orang tuanya, seperti sedekah, puasa, memerdekakan budak dan yang
semisalnya…”[24].
Penutup
Tulisan ringkas ini semoga menjadi motivasi bagi kita
untuk lebih memperhatikan pendidikan anak kita, utamanya pendidikan
agama mereka, karena pada gilirannya semua itu manfaatnya untuk kebaikan
diri kita sendiri di dunia dan akhirat nanti.
Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri dan keturunan kami sebagai penyejuk (pandangan) mata (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
[2] Taisiirul Kariimir Rahmaan (hal. 637).
[3] Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam “al-Mustadrak” (2/535), dishahihkan oleh al-Hakim sendiri dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
[4] Taisiirul Kariimir Rahmaan (hal. 640).
[5] HSR al-Bukhari (no. 1420) dan Muslim (no. 1069).
[6] Fathul Baari (3/355).
[7] HSR Muslim (no. 2865).
[8] HSR Muslim (no. 2367).
[9] Lihat kitab “Ahkaamul mauluud fis sunnatil muthahharah” (hal. 23).
[10] Ibid (hal. 24).
[11] Termasuk anak dan yang lainnya, lihat kitab “Faidhul Qadiir” (5/306).
[12] HSR al-Bukhari (no. 6025) dan Muslim (no. 1434).
[13] Kutubu wa rasaa-ilu syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimiin (4/14).
[14] Lihat keterangan Ibnu Hajar dalam “Fathul Baari” (6/414).
[15] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (3/586).
[16] Kitab “Tuhfatul mauduud biahkaamil mauluud” (hal. 229).
[17]
HR Ibnu Majah (no. 3660), Ahmad (2/509) dan lain-lain, dishahihkan oleh
al-Buushiri dan dihasankan oleh syaikh al-Albani dalam “Silsilatul
ahaaditsish shahiihah” (no. 1598). Ketika mengomentari hadits ini
al-Munawi dalam “Faidhul Qadiir” (2/339) berkata: “Seandainya tidak ada
keutamaan menikah kecuali hadits ini saja maka cukuplah (menunjukkan
besarnya keutamaannya)”.
[18] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (2/339).
[19] HSR Muslim (no. 1631).
[20] Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih yang akan kami sebutkan nanti.
[21]
Dalam hadits ini Rasulullah r tidak mengatakan: “doa anak yang shaleh”,
tapi yang beliau r katakan: “… anak shaleh yang selalu mendoakannya”,
artinya: semua amal kebaikan anak yang shaleh pahalanya akan sampai
kepada orang tuanya.
[22] Lihat kitab “Ahakaamul janaaiz” (hal. 223).
[23]
HR Abu Dawud (no. 3528), an-Nasa’i (no. 4451), at-Tirmidzi (2/287) dan
Ibnu Majah (no. 2137), dihasankan oleh imam at-Tirmidzi dan dinyatakan
shahih oleh syaikh al-Albani.
No comments:
Post a Comment